Kamis, 28 Oktober 2010

TADZABUR ALAM

Baru letusan satu gunung saja manusia sudah ribut, baru tsunami di beberapa tempat saja manusia sudah kalang kabut. Lupakah kita bahwa pada di akhir zaman nanti akan datang saat dimana gunung meletus secara bersamaan dan diikuti bencana tsunami juga secara bersamaan, serempak di semua tempat dan bersamaan sehingga manusia tidak lagi bisa menyelamatkan diri.

Marilah bencana merapi ini kita ambil hikmahnya bahwa Alloh masih sayang kepada umatnya, Alloh ingin menyadarkan umatnya agar kembali ke jalan-Nya.

Minggu, 24 Oktober 2010

KEUTAMAAN HARI JUM'AT

Segala puji bagi Allah Rab semesta alam, shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah y, beserta para keluarga, sahabat, dan orang-orang yang tetap istiqomah menegakkan risalah yang dibawanya hingga akhir zaman..

Wahai kaum muslimin ....Allah l telah menganugerahkan bermacam-macam keistimewaan dan keutamaan kepada umat ini. Diantara keistimewaan itu adalah hari Jum'at, setelah kaum Yahudi dan Nasrani dipalingkan darinya.
Abu Hurairah zmeriwayatkan, Rasulullah bersabda:

"Allah telah memalingkan orang-orang sebelum kita untuk menjadikan hari Jum'at sebagai hari raya mereka, oleh karena itu hari raya orang Yahudi adalah hari Sabtu, dan hari raya orang Nasrani adalah hari Ahad, kemudian Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk menjadikan hari Jum'at sebagai hari raya, sehingga Allah menjadikan hari raya secara berurutan, yaitu hari Jum'at, Sabtu dan Ahad. Dan di hari kiamat mereka pun akan mengikuti kita seperti urutan tersebut, walaupun di dunia kita adalah penghuni yang terakhir, namun di hari kiamat nanti kita adalah urutan terdepan yang akan diputuskan perkaranya sebelum seluruh makhluk". (HR. Muslim)

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: "Hari ini dinamakan Jum'at, karena artinya merupakan turunan dari kata al-jam'u yang berarti perkumpulan, karena umat Islam berkumpul pada hari itu setiap pekan di balai-balai pertemuan yang luas. Allah l memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin berkumpul untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya. Allah l berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". (QS. 62:9)

Maksudnya, pergilah untuk melaksanakan shalat Jum'at dengan penuh ketenangan, konsentrasi dan sepenuh hasrat, bukan berjalan dengan cepat-cepat, karena berjalan dengan cepat untuk shalat itu dilarang. Al-Hasan Al-Bashri berkata: Demi Allah, sungguh maksudnya bukanlah berjalan kaki dengan cepat, karena hal itu jelas terlarang. Tapi yang diperintahkan adalah berjalan dengan penuh kekhusyukan dan sepenuh hasrat dalam hati. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 4/385-386).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: Hari Jum'at adalah hari ibadah. Hari ini dibandingkan dengan hari-hari lainnya dalam sepekan, laksana bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Waktu mustajab pada hari Jum'at seperti waktu mustajab pada malam lailatul qodar di bulan Ramadhan. (Zadul Ma'ad: 1/398).

KEUTAMAAN HARI JUM'AT

1. Hari Terbaik

Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah y bersabada: "Hari terbaik dimana pada hari itu matahari terbit adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan surga serta dikeluarkan darinya. Dan kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum'at

2. Terdapat Waktu Mustajab untuk Berdo'a.

Abu Hurairah z berkata Rasulullah y bersabda: " Sesungguhnya pada hari Jum'at terdapat waktu mustajab bila seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya. Rasululllah y mengisyaratkan dengan tangannya menggambarkan sedikitnya waktu itu (H. Muttafaqun Alaih)

Ibnu Qayyim Al Jauziah - setelah menjabarkan perbedaan pendapat tentang kapan waktu itu - mengatakan: "Diantara sekian banyak pendapat ada dua yang paling kuat, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak hadits yang sahih, pertama saat duduknya khatib sampai selesainya shalat. Kedua, sesudah Ashar, dan ini adalah pendapat yang terkuat dari dua pendapat tadi (Zadul Ma'ad Jilid I/389-390).

3. Sedekah pada hari itu lebih utama dibanding sedekah pada hari-hari lainnya.

Ibnu Qayyim berkata: "Sedekah pada hari itu dibandingkan dengan sedekah pada enam hari lainnya laksana sedekah pada bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya". Hadits dari Ka'ab z menjelaskan: "Dan sedekah pada hari itu lebih mulia dibanding hari-hari selainnya".(Mauquf Shahih)

4. Hari tatkala Allah l menampakkan diri kepada hamba-Nya yang beriman di Surga.

Sahabat Anas bin Malik z dalam mengomentari ayat: "Dan Kami memiliki pertambahannya" (QS.50:35) mengatakan: "Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jum'at".

5. Hari besar yang berulang setiap pekan.

Ibnu Abbas z berkata : Rasulullah y bersabda:
"Hari ini adalah hari besar yang Allah tetapkan bagi ummat Islam, maka siapa yang hendak menghadiri shalat Jum'at hendaklah mandi terlebih dahulu ......". (HR. Ibnu Majah)

6. Hari dihapuskannya dosa-dosa

Salman Al Farisi z berkata : Rasulullah y bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, bersuci sesuai kemampuan, merapikan rambutnya, mengoleskan parfum, lalu berangkat ke masjid, dan masuk masjid tanpa melangkahi diantara dua orang untuk dilewatinya, kemudian shalat sesuai tuntunan dan diam tatkala imam berkhutbah, niscaya diampuni dosa-dosanya di antara dua Jum'at". (HR. Bukhari).

7. Orang yang berjalan untuk shalat Jum'at akan mendapat pahala untuk tiap langkahnya, setara dengan pahala ibadah satu tahun shalat dan puasa.

Aus bin Aus z berkata: Rasulullah y bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, kemudian bersegera berangkat menuju masjid, dan menempati shaf terdepan kemudian dia diam, maka setiap langkah yang dia ayunkan mendapat pahala puasa dan shalat selama satu tahun, dan itu adalah hal yang mudah bagi Allah". (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah).

8. Wafat pada malam hari Jum'at atau siangnya adalah tanda husnul khatimah, yaitu dibebaskan dari fitnah (azab) kubur.

Diriwayatkan oleh Ibnu Amru , bahwa Rasulullah y bersabda:"Setiap muslim yang mati pada siang hari Jum'at atau malamnya, niscaya Allah akan menyelamatkannya dari fitnah kubur". (HR. Ahmad dan Tirmizi, dinilai shahih oleh Al-Bani).

www.dudung.net


Senin, 11 Oktober 2010

Meraih Berkah

Segala puji bagi Allah, Maha Pemberi Keberkahan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Barokah atau berkah selalu diinginkan oleh setiap orang. Namun sebagian kalangan salah kaprah dalam memahami makna berkah sehingga hal-hal keliru pun dilakukan untuk meraihnya. Coba kita saksikan bagaimana sebagian orang ngalap berkah dari kotoran sapi. Ini suatu yang tidak logis, namun nyata terjadi. Inilah barangkali karena salah paham dalam memahami makna keberkahan dan cara meraihnya. Sudah sepatutnya kita bisa mendalami hal ini.

Makna Barokah

Dalam bahasa Arab, barokah bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu.[1] Tabriik adalah mendoakan seseorang agar mendapatkan keberkahan. Sedangkan tabarruk adalah istilah untuk meraup berkah atau “ngalap berkah”.

Adapun makna barokah dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya[2]. Sebagaimana do’a keberkahan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering kita baca saat tasyahud mengandung dua makna di atas.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maksud dari ucapan do’a “keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad karena engkau telah memberi keberkahan kepada keluarga Ibrahim, do’a keberkahan ini mengandung arti pemberian kebaikan karena apa yang telah diberi pada keluarga Ibrahim. Maksud keberkahan tersebut adalah langgengnya kebaikan dan berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan. Inilah hakikat barokah”.[3]

Seluruh Kebaikan Berasal dari Allah

Kadang kita salah paham. Yang kita harap-harap adalah kebaikan dari orang lain, sampai-sampai hati pun bergantung padanya. Mestinya kita tahu bahwa seluruh kebaikan dan keberkahan asalnya dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

”Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imron: 26). Yang dimaksud ayat “di tangan Allah-lah segala kebaikan” adalah segala kebaikan tersebut atas kuasa Allah. Tiada seorang pun yang dapat mendatangkannya kecuali atas kuasa-Nya. Karena Allah-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Demikian penjelasan dari Ath Thobari rahimahullah.[4]

Dalam sebuah do’a istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,

وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ

“Seluruh kebaikan di tangan-Mu.” (HR. Muslim no. 771)

Begitu juga dalam beberapa ayat lainnya disebutkan bahwa nikmat (yang merupakan bagian dari kebaikan) itu juga berasal dari Allah. Dan nikmat ini sungguh teramat banyak, sangat mustahil seseorang menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53).

قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ

“Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah” (QS. Ali Imron: 73).

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34 dan An Nahl: 18).

Kita telah mengetahui bahwa setiap kebaikan dan nikmat, itu berasal dari Allah. Inilah yang disebut dengan barokah. Maka ini menunjukkan bahwa seluruh barokah, berkah atau keberkahan berasal dari Allah semata.[5]

Berbagai Keberkahan yang Halal

Setelah kita mengerti dengan penjelasan di atas, maka untuk meraih barokah sudah dijelaskan oleh syari’at Islam yang mulia ini. Sehingga jika seseorang mencari berkah namun di luar apa yang telah dituntunkan oleh Islam, maka ia berarti telah menempuh jalan yang keliru. Karena ingatlah sekali lagi bahwa datangnya barokah atau kebaikan hanyalah dari Allah.

Perlu diketahui bahwa keberkahan yang halal bisa ada dalam hal diniyah dan hal duniawiyah, atau salah satu dari keduanya. Contoh yang mencakup keberkahan diniyah dan duniawiyah sekaligus adalah keberkahan pada Al Qur’an Al Karim, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Keberkahan seperti ini juga terdapat pada majelis orang sholih, keberkahan bulan Ramadhan, keberkahan makan sahur. Keberkahan pada hal diniyah saja semisal pada tiga masjid yang mulia yaitu masjidil harom, masjid nabawi, dan masjidil aqsho. Sedangkan keberkahan pada hal duniawiyah seperti keberkahan pada air hujan, pada tumbuhnya berbagai tumbuhan, keberkahan pada susu dan hewan ternak.[6]

Ada satu catatan yang perlu diperhatikan. Keberkahan yang halal di atas kadang diketahui karena ada dalil tegas yang menunjukkannya, kadang pula dilihat dari dampak, di sisi lain juga dilihat dari kebaikan yang amat banyak yang diperoleh. Namun untuk keberkahan dalam hal duniawiyah bisa diperoleh jika digunakan dalam ketaatan pada Allah. Jika digunakan bukan pada ketaatan, itu bukanlah nikmat, namun hanyalah musibah.[7]

Contoh Ngalap Berkah yang Halal

Kami contohkan misalnya keberkahan orang sholih, yaitu orang yang sholih secara lahir dan batin[8], selalu menunaikan hak-hak Allah. Di antara keberkahan orang sholih adalah karena keistiqomahan agamanya. Karena istiqomahnya ini, dia akan memperoleh keberkahan di dunia yaitu tidak akan sesat dan keberkahan di akhirat yaitu tidak akan sengsara[9]. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thoha: 123).

Keberkahan orang sholih pun terdapat pada usaha yang mereka lakukan. Mereka begitu giat menyebarkan ilmu agama di tengah-tengah masyarakat sehingga banyak orang pun mendapat manfaat. Itulah keberkahan yang dimaksudkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang-orang sholih yang berilmu sebagai pewaris para nabi.

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi”.[10]

Keberkahan juga bisa diperoleh jika seseorang berlaku jujur dalam jual beli. Dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang”.[11]

Ketika seseorang mencari harta dengan tidak diliputi rasa tamak, maka keberkahan pun akan mudah datang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada Hakim bin Hizam,

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

“Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah”[12] Yang dimaksud dengan kedermawanan dirinya, jika dilihat dari sisi orang yang mengambil harta berarti ia tidak mengambilnya dengan tamak dan tidak meminta-minta. Sedangkan jika dilihat dari orang yang memberikan harta, maksudnya adalah ia mengeluarkan harta tersebut dengan hati yang lapang.[13]

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.”[14]

Begitu pula keberkahan dapat diperoleh dengan berpagi-pagi dalam mencari rizki. Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim peleton pasukan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya pada pagi hari. Sahabat Shokhr sendiri adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang dagangannya ketika pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak harta.[15]

Ngalap Berkah yang Keliru

Ngalap berkah yang keliru di sini karena tidak ada dasar pegangan dalil yang kuat di dalamnya. Di sini kami akan contohkan beberapa hal yang termasuk ngalap berkah yang keliru.

Pertama: Tabarruk dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat.

Di antara yang terlarang adalah tabaruk dengan kubur beliau. Bentuknya adalah seperti meminta do’a dan syafa’at dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi kubur beliau. Semisal seseorang mengatakan, “Wahai Rasul, ampunilah aku” atau “Wahai rasul, berdo’alah kepada Allah agar mengampuniku dan menunjuki jalan yang lurus”. Perbuatan semacam ini bahkan termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat bentuk permintaan yang hanya Allah saja yang bisa mengabulkannya.[16]

Juga yang termasuk keliru adalah mendatangi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengambil berkah dari kuburnya dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin sepakat bahwa barangsiapa yang menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menziarahi kubur para nabi dan orang sholih lainnya, termasuk juga kubur para sahabat dan ahlul bait, ia tidak dianjurkan sama sekali untuk mengusap-usap atau mencium kubur tersebut.”[17] Imam Al Ghozali mengatakan, “Mengusap-usap dan mencium kuburan adalah adat Nashrani dan Yahudi”.[18]

Kedua: Tabarruk dengan orang sholih setelah wafatnya.

Jika terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak diperkenankan tabarruk dengan kubur beliau dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut, maka lebih-lebih dengan kubur orang sholih, kubur para wali, kubur kyai, kubur para habib atau kubur lainnya. Tidak diperkenankan pula seseorang meminta dari orang sholih yang telah mati tersebut dengan do’a “wahai pak kyai, sembuhkanlah penyakitku ini”, “wahai Habib, mudahkanlah urusanku untuk terlepas dari lilitan hutang”, “wahai wali, lancarkanlah bisnisku”. Permintaan seperti ini hanya boleh ditujukan pada Allah karena hanya Allah yang bisa mengabulkan. Sehingga jika do’a semacam itu ditujukan pada selain Allah, berarti telah terjatuh pada kesyirikan.

Begitu pula yang keliru, jika tabarruk tersebut adalah tawassul, yaitu meminta orang sholih yang sudah tiada untuk berdo’a kepada Allah agar mendo’akan dirinya.

Ketiga: Tabarruk dengan pohon, batu dan benda lainnya.

Ngalap berkah dengan benda-benda semacam ini, termasuk pula ngalap berkah dengan sesuatu yang tidak logis seperti dengan kotoran sapi (Kebo Kyai Slamet), termasuk hal yang terlarang, suatu bid’ah yang tercela dan sebab terjadinya kesyirikan.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun pohon, bebatuan dan benda lainnya … yang dinama dijadikan tabarruk atau diagungkan dengan shalat di sisinya, atau semacam itu, maka semua itu adalah perkara bid’ah yang mungkar dan perbuatan ahli jahiliyah serta sebab timbulnya kesyirikan.”[19]

Perbuatan-perbuatan di atas adalah termasuk perbuatan ghuluw terhadap orang sholih dan pada suatu benda. Sikap yang benar untuk meraih keberkahan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah dengan ittiba’ atau mengikuti setiap tuntunan beliau, sedangkan kepada orang sholih adalah dengan mengikuti ajaran kebaikan mereka dan mewarisi setiap ilmu mereka yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Inilah tabarruk yang benar.

Penutup

Dari penjelasan di atas, sebenarnya banyak sekali jalan untuk meraih keberkahan atau ngalap berkah yang dibenarkan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita mencukupkan dengan hal itu saja tanpa mencari berkah lewat jalan yang keliru, bid’ah atau bernilai kesyirikan. Carilah keberkahan dengan beriman dengan bertakwa pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)

Semoga Allah senantiasa melimpahkan kita berbagai keberkahan. Amin Yaa Mujibbas Saailin.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Disusun di Panggang-GK, 27 Sya’ban 1431 H (7 Agustus 2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Mu’jam Maqoyisil Lughoh, Ibnu Faris, 1/227-228 dan 1/230. Dinukil dari At Tabaruk, Dr. Nashir bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Al Judai’, Maktabah Ar Rusyd Riyadh, 1411 H, hal. 25-26.


[2] Demikian kesimpulan dari Dr. Nashir Al Judai’ dalam At Tabaruk, hal. 39.

[3] Jalaul Afham fii Fadhlish Sholah ‘ala Muhammad Khoiril Anam, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul ‘Urubah Kuwait, cetakan kedua, 1407, hal. 308.

[4] Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Muhammad bin Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420, 6/301,

[5] Lihat At Tabarruk, hal. 15-17.

[6] Lihat At Tabarruk, hal. 44.

[7] Lihat At Tabarruk, hal. 44.

[8] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 2/127.

[9] Lihat perkataan Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan surat Thoha ayat 123 dalamm Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 9/376-377.

[10] HR. Abu Daud no. 3641, At Tirmidzi no. 2682 dan Ibnu Majah no. 223. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[11] HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532

[12] HR. Bukhari no. 1472.

[13] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379 H, 3/336.

[14] Syarh Ibni Batthol, Asy Syamilah, 6/48.

[15] HR. Abu Daud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no. 2236. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[16] Lihat At Tabaruk, hal. 325.

[17] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 27/79.

[18] Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Al Ghozali, Mawqi’ Al Waroq, 1/282.

[19] Majmu’ Al Fatawa, 27/136-137.


http://muslim.or.id/aqidah/meraih-berkah.html

Selasa, 03 Agustus 2010

Mesin Wudhu Otomatis

Anthony Gomez, Kepala dan Direktur AACE Worlwide Pty. Ltd., sebuah perusahaan Australia, berhasil menemukan dan mendesain mesin wudhu otomatis yang dioperasikan dengan sinar infra merah. Kelebihan mesin Auto Wudu Washer (AWW) yang dilengkapi dengan alat pengering ini adalah efisiensi air dan waktu.
Mesin wudhu otomatis ini nampaknya bakal laku keras, karena menurut Gomez, perusahaannya sudah menerima pesanan 600 mesin wudhu otomatis ini dari berbagai negara Muslim.
"Kami sedang dalam proses membuat kesepakatan untuk mendistribusikan mesin ini ke Arab Saudi, Kuwait, Oman dan Bahrain," kata Gomez. Ia mengatakan, belum tahu akan dihargai berapa mesin temuannya itu, namun ia meyakinkan bahwa harganya akan 'terjangkau.'
"Mesin ini bukan hanya untuk orang kaya tapi untuk semua orang, kita berusaha agar sedapat mungkin harganya terjangkau," tambah Gomez, asal Malaysia yang kini sudah menjadi warga negara Australia.
Mesin ini dibuat khusus dengan unit-unit untuk berwudhu misalnya bagian telinga, mulut, muka, tangan sampai siku, kaki sampai mata kaki, yang semuanya dibuat dalam satu unit sistem. Menurut Gomez, yang perusahaannya bergerak di bidang pembuatan komponen pesawat terbang, mesin wudhu ini seluruhnya menggunakan sistem komputerisasi.
"Anda tidak perlu menyentuh keran apapun, mesin ini dioperasikan oleh sensor infra merah berdasarkan tekonologi Australia, " jelas Gomez.
Ia mengungkapkan, pada tahap selanjutnya perusahaannya akan memproduksi mesin wudhu otomatis yang bentuknya mirip sebuah kulkas ukuran besar. Saat ini, pembuatan unit-unit mesinnya masih berbasis di Malaysia.
Gomez mengatakan, ia mendapatkan ide pertama untuk membuat mesin wudhu ini ketika ia sedang dalam perjalanan dari Taba, Mesir ke Aqaba, Yordania dengan menggunakan ferry.
"Semuanya berawal ketika tim kami dikontrak untuk membuat pintu kokpit oleh sebuah perusahaan penerbangan Mesir di Taba," kisahnya.
Setelah kontrak itu selesai, Gomez memutuskan untuk berkunjung ke Aqaba. Tapi saat itu ia ketinggalan ferry yang cepat dan terpaksa naik ferry yang lambat, yang sedang mengangkut para jamaah yang akan pergi umarh ke Makkah.
"Toiletnya sangat kotor dan ramai. Banyak para jamaah yang berwudhu dengan menggunakan wastafel dan berdiri di atas lantai yang kotor, yang sama sekali tidak higienis," sambung Gomez.
"Meski saya bukan Muslim, saya sedih melihat mereka karena keyakinan di setiap agama harus menyembah dan mengabdi pada satu tuhan," kata Gomez lagi.
Setelah kembali ke Australia, Gomez bertekad untuk memproduksi mesin wudhu yang canggih dengan menggunakan teknologi tinggi agar bisa juga menghemat waktu dan air.
"Makkah dan Madinah seringkali ramai pengunjung, bayangkan jika hampir dua juta orang berwudhu dan ini sangat sulit. Di sistim kami, hanya butuh tiga menit untuk berwudhu dengan layak," ujarnya.
Wudhu dan Aspek Spiritual
Gomez mengaku sudah berkonsultasi dengan Dewan Islam di Australia sebelum ia mengerjakan penemuan barunya itu. Menurutnya, Dewan Islam Australia sudah mengeluarkan fatwa yang membolehkan mesin wudhu itu.
Mengomentari mesin wudhu otomatis temuan Gomez, ulama Mesir Syeikh 'Abdul-Khaliq Hasan Ash-Sharif mengatakan, dia tidak melihat hal yang salah dalam penggunaan mesin wudhu itu sepanjang pilar-pilar dasar yang disyaratkan untuk berwudhu diperhatikan dengan benar.
"Ada aspek-aspek spiritual dari berwudhu yang harus diperhatikan oleh mereka yang menggunakan peralatan modern," katanya pada Islamonline.
Syeikh Hassan Asy-Syarif menegaskan, umat Islam sendiri tidak perlu terpecah belah hanya kerena mesin-mesin modern dan umat Islam tidak perlu kehilangan semangat spiritualitasnya dengan menggunakan peralatan modern seperti mesin wudhu otomatis itu.
"Umat Islam yang menggunakan mesin ini tidak boleh lupa bahwa mereka sebenarnya sedang melakukan salah satu bentuk peribadatan dan bukan sekedar kegiatan rutinitas membersihkan badan," jelasnya.
Yang dimaksud aspek spiritual itu, Syeikh Hassan Asy-Syarif mengungkapkan sebuah hadist shahih yang mengatakan bahwa dosa seseorang akan diampuni ketika tetesan air jatuh dari bagian-bagian tubuh orang yang berwudhu.
"Aspek spiritual inilah yang harus ada di pikiran seorang Muslim," tegasnya. (ln/iol)

Selasa, 15 Juni 2010

Bagaimana Meraih Ilmu yang Bermanfaat?

Bagaimana Meraih Ilmu yang Bermanfaat?

Merupakan hal yang sudah diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, terlebih lagi oleh para penuntut ilmu agama, keutamaan besar yang Allah sediakan bagi orang-orang yang mempelajari ilmu agama. Keutamaan tersebut disebutkan dalam banyak ayat Al Qur-an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta keterangan dari para ulama salaf, sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim dalam juz pertama dari kitab beliau “Miftahu Daaris Sa’adah” memuat pembahasan khusus tentang keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama, dalam bab yang berjudul: Keutamaan dan kemuliaan (mempelajari) ilmu (agama), penjelasan tentang besarnya kebutuhan untuk (mempelajari) ilmu ini, serta tergantungnya kesempurnaan (iman) dan keselamatan seorang hamba di dunia dan akhirat kepada ilmu (agama) ini. Dalam bab tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan lebih dari seratus lima puluh segi keutamaan ilmu, berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta keterangan para ulama salaf rahimahumullah, sehingga pembahasan tentang keutamaan ilmu yang beliau sebutkan dalam kitab tersebut adalah pembahasan yang sangat lengkap dan menyeluruh, yang mungkin tidak kita dapati di kitab-kitab para ulama lainnya.

Namun sayangnya, kebanyakan dari kita – termasuk para penuntut ilmu sendiri – sering lalai dan kurang menyadari bahwa ilmu yang dimaksud dalam ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukanlah sekedar teori belaka, yang hanya terlihat dalam bentuk hapalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah dan menyampaikan materi kajian, atau gelar dan titel yang disandang, tanpa adanya wujud nyata dan pengaruh dari kemanfaatan ilmu tersebut bagi orang yang mempelajarinya.

Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Bukanlah ilmu itu (hanya) dengan banyak (menghafal) hadits, akan tetapi ilmu (yang bermanfaat) itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada Allah Ta’ala)”([1]).

Dalam atsar shahih lainnya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga berkata dihadapan sahabat-sahabatnya, “Sesungguhnya kalian (sekarang) berada di zaman yang banyak terdapat orang-orang yang berilmu tapi sedikit yang suka berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu zaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang berilmu”([2]).

Definisi Ilmu Yang Bermanfaat (Al ‘Ilmu An Naafi’)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyebutkan definisi Ilmu yang bermanfaat dengan dua penjelasan yang lafazhnya berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi dan sama sekali tidak bertentangan.

Dalam kitab beliau “Fadhlu ‘ilmis salaf ‘ala ‘ilmil khalaf” (hal. 6) beliau berkata: “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum, para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan Al Qur-an dan Hadits. (Begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya. Semua ini sangat cukup (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat) bagi orang yang berakal dan merupakan kesibukkan (yang bermanfaat) bagi orang yang memberi perhatian dan berkeinginan besar (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat)”.

Adapun dalam kitab beliau yang lain “Al Khusyuu’ fish shalaah” (hal. 16) beliau berkata, “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang masuk (dan menetap) ke dalam relung hati (manusia), yang kemudian melahirkan rasa tenang, takut, tunduk, merendahkan dan mengakui kelemahan diri di hadapan Allah Ta’ala”.

Kedua penjelasan Imam Ibnu Rajab ini sepintas kelihatannya berbeda dan tidak berhubungan, akan tetapi kalau diamati dengan seksama kita akan dapati bahwa kedua penjelasan tersebut sangat bersesuaian dan bahkan saling melengkapi. Karena pada penjelasan definisi yang pertama, beliau ingin menjelaskan sumber ilmu yang bermanfaat, yaitu ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits yang shahih (benar periwayatannya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dipahami berdasarkan penjelasan dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka. Ini berarti, seseorang tidak akan mungkin sama sekali bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat tanpa mengambilnya dari sumber Al ‘Ilmu An Naafi’ yang satu-satunya ini.

Adapun dalam penjelasan definisi yang kedua, beliau ingin menjelaskan hasil dan pengaruh dari ilmu yang bermanfaat, yaitu menumbuhkan dalam hati orang yang memilikinya rasa tenang, takut dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Ta’ala. Ini berarti bahwa ilmu yang cuma pandai diucapkan dan dihapalkan oleh lidah, tetapi tidak menyentuh – apalagi masuk – ke dalam hati manusia, maka ini sama sekali bukanlah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu seperti ini justru akan menjadi bencana bagi orang yang memilikinya, bahkan menjadikan pemiliknya terkena ancaman besar – semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua – termasuk ke dalam tiga golongan manusia yang pertama kali menjadi bahan bakar api neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih([3]).

Jenis ilmu inilah yang dimiliki oleh orang-orang Khawarij([4]) dan kelompok-kelompok bid’ah lainnya yang menjadikan mereka menyimpang sangat jauh dari pemahaman islam yang benar, sebagaimana yang digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menerangkan sifat-sifat Khawarij dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,Mereka selalu mengucapkan kata-kata yang baik (dan indah kedengarannya), mereka (mahir) dalam membaca (dan menghafal) Al Qur-an. Akan tetapi bacaan tersebut tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka), mereka keluar dengan cepat dari agama ini seperti anak panah yang (menembus dan) keluar dengan cepat dari sasarannya…”([5]).

Sebaliknya, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat dan meneguhkan keimanan mereka dengan menjadikan Al Qur-an sebagai sumber petunjuk yang menetap di dalam hati mereka, Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ

Sebenarnya, Al Qur-an itu adalah ayat-ayat yang jelas (yang terdapat) di dalam dada (hati) orang-orang yang diberi ilmu. (QS Al ‘Ankabuut: 49).

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Maknanya: Al Qur-an adalah ayat-ayat yang nyata dan jelas sebagai petunjuk kepada (jalan) yang benar, dalam perintah, larangan maupun berita (yang dikandung)nya, dan Allah memudahkan bagi orang-orang yang berilmu untuk menghafal, membaca dan memahami (kandungan)nya”([6]).

Syarat Mendapatkan Ilmu Yang Bermanfaat

Setelah kita memahami definisi ilmu yang bermanfaat, dan bahwasanya hafalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah dan menyampaikan materi kajian, maupun gelar dan titel yang disandang seseorang, tidaklah menjadi jaminan bahwa ilmu yang dimilikinya adalah ilmu yang bermanfaat yang akan selalu membimbingnya dalam menuju ridha Allah I, apalagi dengan melihat kenyataan di jaman sekarang banyak orang yang dipuji karena hal-hal di atas, tapi sama sekali tidak terlihat pengaruh dan manfaat ilmu yang dipelajarinya dalam akhlak dan tingkah lakunya. Maka setelah itu, timbul pertanyaan, bagaimanakah cara untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat itu? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat, bagaimanakah cara untuk menjadikan ilmu yang kita pelajari bermanfaat bagi kita dalam membimbing kita untuk semakin dekat kepada Allah Ta’ala, sehingga semakin banyak ilmu yang kita pelajari semakin kuat pula keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah?

Untuk menjawab pertanyaan penting di atas, dengan memohon taufik dari Allah Ta’ala, kami akan menyampaikan kesimpulan dari tulisan Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah tentang cara mengambil manfaat dari Al Qur-an (termasuk ilmu agama lainnya secara keseluruhan) dan syarat-syaratnya, dalam kitab beliau “Al Fawaaid” (hal. 9-10), dengan tambahan penjelasan dari kami untuk mempermudah dalam memahaminya.

Dalam pembahasan tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa secara umum untuk bisa mengambil pengaruh dan manfaat yang maksimal dari segala sesuatu yang ingin kita ambil pengaruh darinya, maka ada empat faktor yang harus diwujudkan, semakin sempurna keempat faktor ini terwujud maka semakin maksimal pula pengaruh yang kita dapatkan darinya. Keempat faktor itu adalah: [1] sumber pengaruh yang baik, [2] media untuk menerima pengaruh, [3] upaya untuk mendapatkan pengaruh tersebut, dan [4] upaya untuk menghilangkan penghalang dan penghambat yang menghalangi sampainya pengaruh tersebut.

Dalam hubungannya dengan mengambil manfaat dan pengaruh yang baik dari ilmu agama yang kita pelajari, keempat faktor tersebut terangkum dalam kalimat yang ringkas tapi sarat makna dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya” (QS Qaaf:37).

Penjelasan tentang keempat faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Faktor pertama: sumber pengaruh (ilmu) yang baik, ini diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran)”), artinya, kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat dari ilmu yang kita pelajari, maka kita benar-benar harus memilih sumber rujukan ilmu yang terjamin kebaikannya.

Karena tujuan kita mempelajari ilmu agama tentu saja bukan hanya untuk sekedar menambah wawasan atau sekedar teori yang hanya berupa hafalan yang kuat atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah, tapi tujuan kita adalah agar ilmu tersebut memberikan manfaat dalam membimbing kita untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Sehingga sumber ilmu yang kita jadikan rujukan benar-benar harus terbukti bisa mewujudkan tujuan tersebut.

Oleh karena itulah, Al Qur-an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sumber ilmu bermanfaat yang paling utama karena keduanya adalah wahyu dari Allah Ta’ala yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna. Demikian pula kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama salaf dan para ulama yang mengikuti petunjuk mereka, karena kitab-kitab ditulis oleh orang-orang yang benar-benar memiliki keikhlasan, ilmu dan ketakwaan, sehingga manfaatnya dalam mentransfer kebaikan dan ketakwaan kepada orang yang mengkajinya jelas lebih besar dari pada kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut.

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab beliau “Shifatush shafwah” (4/122)([7]) menukil ucapan Hamdun bin Ahmad Al Qashshar([8]) ketika beliau ditanya, “Apa sebabnya ucapan para ulama salaf lebih besar manfaatnya dibandingkan ucapan kita?” Beliau menjawab, “Karena mereka berbicara (dengan niat) untuk kemuliaan Islam, keselamatan diri (dari azab Allah Ta’ala), dan mencari ridha Allah Ta’ala, adapun kita berbicara (dengan niat untuk) kemuliaan diri (mencari popularitas), kepentingan dunia (materi), dan mencari keridhaan manusia”.

Demikian pula termasuk dalam posisi sebagai sumber pengaruh dalam hal ini adalah seorang da’i dan ustadz yang menyampaikan ceramah atau kajian ilmu agama. Oleh karena itu, memilih pendidik ilmu agama yang baik dalam ilmu dan ketakwaannya adalah kewajiban yang selalu ditekankan oleh para ulama ahlus sunnah bagi para penuntut ilmu. Karena kalau seorang da’i atau ustadz tidak memiliki ketakwaan dalam dirinya, maka bagaimana mungkin dia bisa menjadikan muridnya memiliki ketakwaan sedangkan dia sendiri tidak memilikinya? Salah satu ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:

فاقِِدُ الشيء لا يُعْطِيه

Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa” ([9]).

Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu”([10]).

Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para sahabat Nabi r menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ

Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian (wahai para sahabat Nabi), (sampai) menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing)” (QS Ali ‘Imraan:101).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Makna ayat di atas: sesungguhnya kekafiran itu sangat jauh dan tidak akan mungkin terjadi pada diri kalian (wahai para sahabat Nabi), karena ayat-ayat Allah turun kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu siang dan malam, yang kemudian beliau membacakan dan menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada kalian”([11]).

Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri([12]) dalam kitab “Siyaru A’laamin Nubala’” (2/576), ketika Khalid bin Shafwan([13]) menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik([14]) dengan berkata, “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”. Setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata, “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?

Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’([15]) tentang sedikitnya pengaruh ceramah yang disampaikannya dalam merubah akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Waasi’ berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan ceramah yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati maka (akan mudah) masuk ke dalam hati (orang yang mendengarnya)” ([16]).

Faktor kedua: Media untuk menerima pengaruh dan manfaat dari ilmu, dalam hal ini adalah hati yang bersih, ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“bagi orang-orang yang mempunyai hati”). Artinya, kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat dari ilmu yang kita pelajari, maka kita benar-benar harus membersihkan dan menyiapkan hati kita, karena ilmu yang bermanfaat tidak akan masuk dan menetap ke dalam hati yang kotor dan dipenuhi noda syahwat atau syubhat.

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Yang dimaksud dengan hati (sebagai media untuk menerima manfaat dan pengaruh dari ilmu di sini) adalah hati yang hidup (bersih dari noda syahwat atau syubhat) yang bisa memahami (peringatan) dari Allah, sebagaimana (yang disebutkan dalam) firman-Nya,

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآَنٌ مُبِينٌ (69) لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا

Al Qur-an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)” (QS Yaasiin: 69-70)([17]).

Oleh karena itu, upaya untuk melakukan tazkiyatun nufus (pembersihan hati dan pensucian jiwa) adalah hal yang wajib dan harus mendapat perhatian besar bagi para penuntut ilmu yang menginginkan manfaat yang baik dari ilmu yang dipelajarinya.

Secara ringkas, berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa untuk mengupayakan pembersihan dan pensucian jiwa, serta mengobati penyakit-penyakit hati yang menghalangi masuknya ilmu yang bermanfaat, maka ada tiga macam terapi penyembuhan yang harus ditempuh, yang beliau istilahkan dengan “madaarush shihhah” (ruang lingkup penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang diterapkan oleh para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam cara penyembuhan tersebut adalah:

1). Hifzhul quwwah (memelihara kekuatan dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan amalan shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al Qur-an dengan menghayati kandungan maknanya, berzikir, mempelajari ilmu agama yang bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dan lain-lain.

2). Al Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain), yaitu dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan syariat lainnya, karena dosa-dosa tersebut akan semakin memperparah dan menambah penyakit hati.

3). Istifragul mawaaddil faasidah (menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan), yaitu dengan cara beristigfar (meminta pengampunan) dan bertaubat dengan taubat yang nashuh (ikhlas dan bersungguh-sungguh) kepada Allah Ta’ala([18]).

Faktor ketiga: upaya untuk mendapatkan pengaruh baik dan manfaat dari ilmu, yaitu dengan cara mengkonsentrasikan pendengaran kita terhadap nasehat dan peringatan yang disampaikan di hadapan kita. Ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“Atau orang yang mengkonsentrasikan pendengarannya”).

Maksud dari faktor yang ketiga ini adalah, setelah kita mengupayakan sumber pengaruh ilmu yang baik, demikian pula media untuk menerima pengaruh baik tersebut, maka mestinya pengaruh baik dan manfaat dari ilmu tetap tidak akan didapat tanpa ada penghubung yang menghubungkan antara sumber dan media tersebut. Maka dalam hal ini, banyak membaca Al Qur-an dengan berusaha mengahayati kandungan maknanya, menghadiri majelis ilmu yang bermanfaat, mendengarkan ceramah dan menelaah buku-buku sumber ilmu yang bermanfaat adalah upaya yang harus kita lakukan dan terus ditingkatkan agar manfaat dan pengaruh baik dari ilmu makin maksimal kita dapatkan.

Faktor keempat: upaya untuk menghilangkan penghalang dan penghambat yang menghalangi sampainya pengaruh baik dari ilmu yang bermanfaat. Ini diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“Sedang dia menghadirkan (hati)nya”). Ini berarti bahwa kelalaian dan berpalingnya hati dari memahami dan menghayati kandungan ilmu ketika ketika kita membaca Al Qur-an, menhadiri majelis ilmu, atau mendengarkan ceramah, ini adalah penghambat utama yang mengahalangi sampainya pengaruh dan manfaat dari ilmu yang sedang kita baca atau dengarkan.

Penutup

Selain mengusahakan keempat faktor di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah faktor do’a, karena bagaimanapun taufik untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat ada di tangan Allah Ta’ala semata-mata. Oleh karena itulah, di antara do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu ucapan beliau:

اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع ومن نفس لا تشبع ومن دعوة لا يستجاب لها

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak mau tunduk (kepada-Mu), dari jiwa yan tidak pernah puas (dengan pemberian-Mu), dan dari do’a yang tidak dikabulkan”([19]).

Yang terakhir, perlu kita ingat bahwa kesungguhan dan upaya maksimal kita dalam mengusahakan semua faktor di atas sangat menentukan – dengan taufik dari Allah Ta’ala – dalam berhasil/tidaknya kita mendapatkan manfaat dan pengaruh baik dari ilmu yang kita pelajari, karena Allah Ta’ala akan memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada seseorang sesuai dengan kesungguhan dan upaya maksimal orang tersebut dalam melakukan sebab-sebab untuk mencapai kebaikan dalam agama ini.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ))

Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam menundukkan hawa nafsu) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al ‘Ankabuut:69).

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika mengomentari ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah Ta’ala) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”([20]).

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua taufik dan hidayah-Nya untuk bisa mendapatkan manfaat dan pengaruh yang baik dari ilmu yang kita pelajari, serta menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, Aamiin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 10 Rabi’ul awwal 1429 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id


([1]) Tafsir Ibnu Katsir (3/729), Ibnu katsir membawakan ucapan beliau ini dalam menafsirkan firman Allah U :

{إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور}

“Sesungguhnya yang memiliki rasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (tentang agama Allah). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Faathir:28).

([2]) Atsar riwayat Imam Al Bukhari dalam “Al Adabul Mufrad” (no 789) dan Abdurrazzak dalam “Al Mushannaf” (no 3787), dishahihkan oleh Ibnu hajar dalam “Fathul Baari” (10/510) dan dihasankan olah Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no 3189), juga diriwayatkan dari ucapan Rasulullah r dan dishahihkan olah Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no 2510).

([3]) HR At Tirmidzi (no. 2382), Ibnu Khuzaimah (no. 2482), Ibnu Hibban (no. 408) dan Al Hakim (no. 1527) dari Abu Hurairah t, dishahihkan oleh Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam “Shahih at targiib wat tarhiib” (no. 22), Imam muslim juga meriwayatkan hadits ini dalam “Shahih Muslim” (n0 1905) tanpa lafazh yang kami sebutkan di atas. Perawi hadits di atas menyebutkan bahwa Abu Hurairah t sebelum menyampaikan hadits tersebut sampai pingsan tiga kali berturut-turut karena dasyatnya ancaman dalam hadits tersebut dan ketakutan beliau akan kemungkinan tertimpa ancaman tersebut, maka apakah setelah ini masih ada di antara para penuntut ilmu yang merasa aman dari kemungkinan terkena ancaman ini ??!!!

([4]) Kelompok bid’ah yang pertama kali menyempal dari petunjuk Nabi r dan para sahabatnya y, kelompok ini terkenal dengan pemahaman sesat mereka yang mudah mengakafirkan kaum muslimin berdasarkan hawa nafsu.

([5]) HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 1066).

([6]) Tafsir Ibnu Katsir (3/552).

([7]) Ucapan ini juga dinukil oleh Abu nu’aim Al Ashbahani dalam ktab beliau “Hilyatul Auliya’” (10/231) dan Al Baihaqi dalam kitab beliau “Syu’abul iimaan” (no. 1842).

([8]) Beliau adalah Abu Shaleh Hamdun bin ahmad bin ‘Umaarah An Naisaabuuri (wafat 271 H), biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (13/50) karya Imam Adz Dzahabi.

([9]) Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “at-Tawassul, ‘anwaa’uhu wa ahkaamuhu” (hal. 74).

([10]) Muqaddimah shahih Muslim (1/12).

([11]) Tafsir Ibnu Katsir (1/514).

([12]) Beliau adalah Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (4/563).

([13]) Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al Bashri, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).

([14]) Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik bin Marwan bin Al Hakam (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/241).

([15]) Beliau adalah Muhammad bin Waasi’ bin Jabir bin Al Akhnas Al Azdi Al Bashri (wafat 123 H), seorang Imam dari kalangan Tabi’in ‘junior’ yang tat beribadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits, Imam Muslim mengeluarkan hadits beliau dalam kitab “Shahih Muslim” , biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (26/576) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (6/119).

([16]) Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/122).

([17]) Al Fawaaid (hal. 9).

([18]) Lihat kitab “Igatsatul lahfan” (1/16-17).

([19]) HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 2722).

([20]) Al Fawaaid (hal. 83).


Selasa, 08 Juni 2010

Merealisasikan Kalimat Tauhid Tak Semudah Yang Dibayangkan

Merealisasikan Kalimat Tauhid Tak Semudah Yang Dibayangkan

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

“…Merealisasikan la ilaha illallah adalah suatu hal yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata: ‘Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan’. Sebagian salaf juga mengatakan: ‘Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas’. Dan tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun selain mukmin, maka dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan.

Oleh sebab itu, pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat’. Maka beliau menjawab: ‘Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?’ Setan tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan iman-.

Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam hatinya sesuatu yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan -karena buruknya hal itu, pent-. Maka beliau berkata, ‘Benarkah kalian merasakan hal itu?‘. Mereka menjawab, ‘Benar’. Beliau pun bersabda, ‘Itulah kejelasan iman‘ (HR. Muslim). Artinya hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan kalian, karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu tidak akan muncul kecuali pada hati yang lurus dan bersih.” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/38] cet. Makt. al-’Ilmu)

Apa yang dimaksud dengan merealisasikan la ilaha illallah?

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20 cet. Makt. al-’Ilmu)

Benarkah sesulit itu merealisasikan la ilaha illallah?

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan,

“Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika’il.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikhnya tanpa menyebutkan jumlah sahabat yang ditemui, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar al-Hadits)

Ibrahim at-Taimi rahimahullah -seorang fuqaha’ dan ahli ibadah di kalangan tabi’in- berkata,

“Tidaklah aku hadapkan ucapanku kepada amalanku melainkan aku khawatir termasuk orang yang didustakan/tidak dipercayai nasehatnya.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh beliau dalam Tarikhnya, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar. al-Hadits)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata -menjelaskan maksud ucapan di atas-,

“Maksudnya; aku merasa takut orang akan mendustakan diriku karena melihat amalanku yang menyelisihi ucapanku, sehingga dia akan berkata, ‘Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu yang menyelisihi ucapanmu’. Beliau mengucapkan hal itu karena beliau sering memberikan nasehat/wejangan kepada orang-orang -sementara beliau mengkhawatirkan amalannya, pent-…” (Fath al-Bari [1/136])

Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata,

“… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (al-Fawa’id, hal. 34 cet. Dar al-’Aqidah)

Lalu bagaimana langkah mewujudkannya?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

“…Tauhid (la ilaha illallah) itu tidak akan terwujud kecuali dengan tiga perkara:

Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Ketahuilah, bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah.’ (QS. Muhammad: 19).

Kedua, i’tiqad/keyakinan, apabila kamu telah mengetahui namun tidak meyakini dan justru menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum merealisasikan tauhid. Allah ta’ala berfirman mengenai orang-orang kafir (yang artinya), ‘Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak- itu menjadi satu sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang sangat mengherankan.’ (QS. Shaad: 5). Mereka -orang kafir- tidak meyakini keesaan Allah dalam hal peribadahan -meskipun mereka memahami seruan Nabi tersebut, pent-.

Ketiga, inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini namun tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila dikatakan kepada mereka bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah maka mereka pun menyombongkan diri/bersikap angkuh dan mengatakan; apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara seorang penyair gila?’ (QS. ash-Shaffat: 35-36)…” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/55] cet. Makt. al-’Ilmu)

Ilmu tentang la ilaha illallah

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,

“… La ilaha illallah tidak akan bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya kecuali apabila dia telah mewujudkan syarat-syaratnya yang jumlahnya ada delapan:

  1. Ilmu -tentang makna la ilaha illallah, pent- yang menepis kebodohan
  2. Keyakinan yang menepis adanya keragu-raguan
  3. Keikhlasan yang menepis kemusyrikan
  4. Kejujuran yang menepis dusta/kepura-puraan
  5. Kecintaan yang menepis kebencian
  6. Ketundukan yang menepis sikap meninggalkan
  7. Sikap menerima yang menepis penolakan
  8. Mengingkari segala sesembahan selain Allah…” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 15)

Makna la ilaha illallah

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,

“…Maknanya: Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.

Makna lain yang keliru adalah:

[1] Tidak ada sesembahan selain Allah.

Ini keliru, sebab makna(konsekuensi)nya: segala yang disembah benar atau salah adalah Allah.

[2] Tidak ada pencipta selain Allah.

Ini memang sebagian dari maknanya, akan tetapi bukan itu yang dimaksudkan; sebab seandainya itu merupakan makna la ilaha illallah niscaya tidak akan terjadi persengketaan antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaumnya, sebab mereka mengakui hal ini -yaitu keesaan Allah dalam hal mencipta, dsb. Pent-.

[3] Tidak ada penetapan hukum selain oleh Allah.

Ini juga sebagian saja dari maknanya, akan tetapi hal ini belum mencukupi dan bukan maksud utamanya. Sebab seandainya Allah dieesakan dalam perkara hukum namun tetap ada selain-Nya yang disembah/diibadahi -oleh seorang hamba- maka tauhid belum dianggap terwujud.” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 13)

Apa konsekuensi la ilaha illallah?

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,

“… (konsekuensinya) adalah meninggalkan peribadahan kepada segala sesuatu selain Allah, hal ini ditunjukkan oleh ungkapan penolakan yaitu dalam ucapan kita ‘la ilaha’, dan beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, yang hal ini ditunjukkan oleh penetapan yaitu dalam ucapan kita ‘illallah’…” (at-Tauhid li as-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 50)

Apa itu ibadah?

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,

“Pengertiannya: Secara bahasa artinya perendahan diri dan ketundukan. Adapun menurut syari’at adalah sebuah ungkapan yang mewakili segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang tersembunyi/batin maupun yang tampak/lahir.” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53)

Apa saja pilar-pilar ibadah?

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,

“Pilar-pilar ibadah:

  1. Kecintaan (mahabbah)
  2. Rasa takut (khauf)
  3. Harapan (raja’).” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53)

Ada apa antara cinta dengan ibadah?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

“…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Makt. al-’Ilmu)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,

“… Tidak akan sempurna tauhid seorang hamba sampai sempurna kecintaan hamba tersebut kepada Rabbnya dan kecintaan kepada-Nya harus lebih didahulukan di atas semua perkara yang dicintainya dan mengalahkan itu semua serta kecintaan kepada Allah itulah yang menghakimi semua kecintaan yang lain sehingga semua yang dicintai oleh hamba tersebut senantiasa mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan meraih kebahagiaan dan keberuntungan dirinya.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)

Menggapai manisnya iman dengan cinta

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara yang barangsiapa ketiganya terdapat dalam dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. [2] Tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah. [3] Dia benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya sebagaimana orang yang tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kamu ini memang aneh!

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Sungguh sebuah perkara yang amat mengherankan tatkala kamu telah mengenal-Nya lantas kamu justru tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya namun kamu justru berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu menyadari betapa besar keuntungan yang akan dicapai dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu justru memilih bermuamalah dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko kemurkaan-Nya namun kamu justru nekat membangkang kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat kepada-Nya namun kamu justru tidak mau mencari ketentraman dengan cara taat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala menyibukkan diri dengan selain ucapan-Nya atau pembicaraan tentang-Nya namun kemudian kamu justru tidak merindukan kelapangan hati dengan cara berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kamu pun bisa merasakan betapa tersiksanya hatimu tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu justru tidak meninggalkan hal itu menuju kenikmatan yang ada dalam pengabdian serta kembali bertaubat dan taat kepada-Nya. Dan yang lebih aneh lagi daripada ini semua adalah kesadaranmu bahwa kamu pasti membutuhkan-Nya dan bahwa Dia merupakan sosok yang paling kamu perlukan, akan tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang menjauhkan dirimu dari-Nya.” (al-Fawa’id, hal. 45)

Mana bukti cintamu?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),

“Katakanlah (Muhammad): ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31). Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Senin, 31 Mei 2010

Ayat-Ayat Tentang Tafsiran Kalimat "Laa Ilaha Illallah"

Ayat-Ayat Tentang Tafsiran Kalimat "Laa Ilaha Illallah"

Sekilas Tentang Makna Laa ilaaha ilallah

Makna Laa ilaaha ilallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ] yang benar adalah tidak ada sesembahan yang benar dan berhak disembah kecuali Allah semata. Pada kalimat Laa ilaaha ilallah terdapat empat kata yaitu:

  1. Kata Laa ( لآُ ) berarti menafikan, yakni meniadakan semua jenis sesembahan yang benar kecuali Allah.
  2. Kata ilah ( إِلَهَ ) berarti sesuatu yang disembah
  3. Kata illa ( َ إِلاَّ ) berarti pengecualian
  4. Kata Allah (الله ) berarti ilah/sesembahan yang benar.

Dengan demikian makna [ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ] adalah menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah saja sebagai sesembahan yang benar .[1]

Dalil tentang masalah ini adalah firman Allah Ta’ala :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ {62}

Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj:62)

Demikianlah makna Laa ilaaha ilallah yang benar. Pada bahasan selanjutnya akan kami nukilkan sebagian ayat-ayat yang menjelaskan tentang tafsiran makna Laa ilaaha ilallah beserta penjelasan para ulama.

Ayat Pertama

Firman Allah Ta’ala,

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا {57}

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Israa’:57)

Dalam ayat di atas, Allah mengkhabarkan bahwa sesembahan selain Allah yang diseru oleh kaum musyrikin baik berupa para malaikat, nabi, dan orang-orang sholih, mereka sendiri bersegera mencari kedekatan kepada Allah dan mengharap rahmat Allah serta takut terhadap adzab-Nya. Jika demikian kondisi sesembahan mereka yang juga merupakan makhluk, maka bagaimana bisa mereka dijadikan sesembahan selain Allah? Bahkan mereka juga mengkhawatirkan diri mereka sendiri dengan menyembah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan beribadah. Hal ini menunjukkan bahwa makna tauhid syahadat Laa ilaaha ilallah yaitu dengan meninggalkan perbuatan kaum musyrikin berupa menyembah orang-orang sholih dan meminta syafaat kepada mereka untuk menghilangkan kemudharatan karena hal itu termasuk syirik akbar. [2]

Ringkasnya, di antara makna Laa ilaaha ilallah adalah dengan meninggalkan perbuatan menyembah orang-orang shalih seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin.

Ayat Kedua

Firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ {26} إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهدِينِ {27}

Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab (berlepas diri) terhadap apa yang kamu sembah (26). tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku“.”(QS. Az Zukhruf:26-27)

Dalam ayat di atas terdapat perpaduan antara penafian dan penetapan. Penafiannya adalah firman Allah [ بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ ] (berlepas diri dari yang kalian sembah), sedangkan penetapannya adalah [ إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي ] (tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menciptakanku). Hal ini menunjukkan bahwa tauhid tidak akan sempurna kecuali dengan mengingkari sesembahan selain Allah dan beriman kepada Allah semata. Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

ِ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ {256}

Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah:256)

Ibrahim ‘alaihis sallam mengatakan [ إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي ] dan tidak mengatakan[ إِلاَّ اللهُ ]. Ada dua faedah dalam perkataan ini :

  1. Menunjukkan tentang alasan pengesaan Allah dalam ibadah. Sebagaimanan Allah diesakan dalam penciptaan, maka Dia juga harus diesakan dalam ibadah.
  2. Menunjukkan tentang kebatilan penyembahan terhadap para berhala. Berhala-berhala tersebut tidak dapat menciptakan kalian, mengapa kalian masih menyembahnya? Di sini juga terkandung alasan tentang tauhid yang memadukan antara penafian dan penetapan.

Kesimpulan dari ayat di atas bahwa tauhid tidak akan terwujud jika ada penyembahan kepada Allah yang disertai penyembahan kepada selain-Nya. Perwujudan tauhid hanya dengan pemurnian ibadah bagi Allah semata. Manusia dalam hal ini dapat dibagi menjadi tiga golongan :

  1. Golongan yang menyembah Allah semata.
  2. Golongan yang menyembah selain Allah semata.
  3. Golongan yang menyembah Allah serta menyembah selain-Nya

Hanya golongan pertamalah yang disebut muwahhid (orang yang bertauhid).[3]

Ayat Ketiga

Firman Allah Ta’ala,

اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ {31}

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah:31)

Allah Ta’ala menceritakan tentang kaum Yahudi dan Nasrani bahwasanya mereka meminta nasehat kepada ulama dan rahib mereka dan mereka mentaatainya dalam penghalalan sesuatu yang Allah haramkan dan pengharaman sesuatu yang Allah halalkan. Mereka mendudukkan ulama mereka sebagai Rabb yang memiliki kekhususan untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini sebagaimana dilaukan kaum Nasrani yang menyembah Isa dan menganggapnya sebagai anak Allah. Mereka mencampakkan kitabullah yang memerintahkan mereka untuk mentaati dan mengibadahi Allah semata. Kesimpulan dari ayat ini menunjukkan bahwa makna tauhid dan syahadat Laa ilaaha ilallah yakni dengan mengesakan Allah dalam mentaati apa yang Allah haramkan dan apa yang Allah halalkan. Barangsiapa yang menjadikan seseorang selain Allah dalam mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya maka dia termasuk orang musyrik.[4]

Ayat Keempat

Firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ للهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ {165}

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”(QS. Al Baqarah:165)

Dalam ayat yang mulia ini Allah menceritakan kepada kita tentang sebgain manusia yang menyembah berhala. Mereka mencintai berhala itu sebagiamana mereka mencintai Allah. Kemudian Allah menerangkan bahwa kaum mukminin lebih mencintai Allah daripada kaum musyrikin. Hal ini karena kaum mukminin mencintai Allah secara murni, sementara kaum musyrikin cinta mereka terbagi kepada Allah dan kepada berhala. Barangsiapa yang mencintai Allah secara murni, tentu saja cintanya kepada Allah lebih kuat daripada orang-orang yang menyekutukan cintanya kepada Allah.

Lalu Allah mengancam kaum musyrikin dan menjelaskan kepada mereka bahwa pada hari kiamat nanti tatkala mereka melihat azab Allah siap menerkam, mereka akan berangan-angan sekiranya dahulu mereka tidak menyekutukan cinta dan ibadah mereka kepada Allah. Mereka kelak di akhirat akan mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa kekuatan itu hanyalah milik Allah semata. Dan Allah Maha Keras siksanya.

Ayat di atas menjelaskan bahwa makna tauhid dan syahadat Laa ilaaha ilallah adalah mengesakan Allah dalam kecintaan yang mengharuskan seseorang mengikhlaskan seluruh ibadahnya kepada Allah semata. [6].

Demikianlah di antara ayat-ayat tentang tafsir Laa ilaaha ilallah beserta penejelasan para ulama. Semoga semakin memperkokoh pondasi tauhid kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Wallahul musta’an.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Artikel www.muslim.or.id

Catatan kaki :

[1]. Lihat pembahasan selengkapnya dalam At Tamhiid li Syarhi Kitaabi at Tauhiid hal 72-78, Syaikh Shalih Alu Syaikh, cet. Daarut Tauhid

[2]. Al Mulakhos fii Syarhi Kitaabi at Tauhiid hal 62, Syaikh Sholih al Fauzan, cet. Daarul ‘Aashomah

[3]. Diringkas dari Al Qoulul Mufiid ‘alaa Kitabi at Tauhiid I/ 96-97, Syaikh ‘Utsaimin, cet. Daarul ‘Aqidah)

[4]. Al Mulakhos fii Syarhi Kitaabi at Tauhiid hal 64-65, Syaikh Sholih al Fauzan, cet. Daarul ‘Aashomah).

[5]. Al Jadiid fii Syarhi Kitaabi at Tauhiid hal 76-77, Syaikh Muhammad al Qor’awi, cet. Maktabah as Sawadi li taudzii’

muslim.or.id

Rabu, 21 April 2010

ENGKAU AKAN MENGALAMI 2 KEMATIAN DAN 2 KEHIDUPAN

ENGKAU AKAN MENGALAMI 2 KEMATIAN DAN 2 KEHIDUPAN

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sangat bagus sekali jika kita merenungkan sebuah ayat dalam Al Qur'an tepatnya dalam surat Al Mu'min (disebut pula surat Ghofir). Ayat tersebut menyebutkan bahwa masing-masing kita akan menjalani kematian sebanyak dua kali dan kehidupan sebanyak dua kali. Apa yang dimaksud dengan hal tersebut? Simak tulisan berikut.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنَادَوْنَ لَمَقْتُ اللَّهِ أَكْبَرُ مِنْ مَقْتِكُمْ أَنْفُسَكُمْ إِذْ تُدْعَوْنَ إِلَى الْإِيمَانِ فَتَكْفُرُونَ, قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَى خُرُوجٍ مِنْ سَبِيلٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir diserukan kepada mereka (pada hari kiamat): "Sesungguhnya kebencian Allah (kepadamu) lebih besar daripada kebencianmu kepada dirimu sendiri karena kamu diseru untuk beriman lalu kamu kafir". Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?" (QS. Al Mu’min [40]: 11)

Apa yang dimaksud mati dua kali dan hidup dua kali dalam ayat di atas?

Perlu diketahui bahwa ayat ini serupa dengan ayat,

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (QS. Al Baqarah [2]: 28)

Penjelasan Ulama

Yang dimaksud dengan ayat ini ada beberapa pendapat di kalangan ulama. Penafsiran yang dianggap kuat oleh Ibnul Jauzi sebagai berikut:

Kematian pertama adalah ketika dalam bentuk nuthfah (air mani), ‘alaqoh (segumpal darah) dan mudgoh (sekerat daging). Selanjutnya adalah dihidupkan dalam rahim. Lalu dimatikan lagi setelah hidup di dunia. Lalu akan dihidupkan lagi ketika dibangkitkan pada hari kiamat.

Penafsiran semacam ini dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, Qotadah, Muqotil, Al Faro’, Tsa’lab, Az Zujaj, Ibnu Qutaibah, dan Ibnul ‘Ambari. (Lihat Zaadul Masiir, 1/39, Mawqi’ At Tafasir)

Asy Syaukani memberikan penjelasan sedikit berbeda. Beliau rahimahullah mengatakan,

Yang dimaksud dulu kalian dalam keadaan mati adalah waktu sebelum dicipta (belum ada). Karena boleh saja kita mengatakan mati pada sesuatu yang belum ada karena sama-sama tidak memiliki indera.

Kemudian yang dimaksud kalian lalu dihidupkan adalah ketika diciptakan menjadi makhluk.

Selanjutnya yang dimaksud kalian dimatikan kedua kalinya adalah ketika ajal kalian itu datang (dan dimasukkan dalam kubur).

Lalu yang dimaksudkan kalian dihidupkan kedua kalianya adalah ketika hari kiamat saat dibangkitkan.

Yang menafsirkan seperti ini adalah mayoritas sahabat dan ulama setelahnya. Ibnu ‘Athiyah mengatakan bahwa penjelasan ini adalah penafsiran yang dimaksudkan dalam ayat. (Fathul Qodir, 1/62, Mawqi’ Al Islam)

Adh Dhohak menyebutkan perkataan Ibnu ‘Abbas mengenai surat Al Mu’min ayat 11, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Dulu kalian berasal dari tanah sebelum diciptakan. Inilah kematian pertama. Lalu kalian dihidupkan dan diciptakan. Inilah kehidupan pertama. Kemudian kalian dimatikan kembali dan masuk ke alam kubur. Inilah kematian kedua. Kemudian nanti kalian akan dibangkitkan pada hari kiamat. Inilah kehidupan kedua. Itulah dua kematian dan dua kehidupan.” Hal ini sama maknanya dengan surat Al Baqarah ayat 28.

Penafsiran semacam ini diriwayatkan dari As Sudi dengan sanadnya, dari Abu Malik, dari Abu Sholih, dari Ibnu ‘Abbas; juga diriwayatkan dari Murroh, dari Ibnu Mas’ud dan dari beberapa sahabat. Begitu pula diriwayatkan dari Abul ‘Aliyah, Al Hasan Al Bashri, Mujahid, Qotadah, Abu Sholihk, Adh Dhohak, ‘Atho’ Al Khurasani semacam ini pula. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 1/331-332, Muassasah Al Qurthubah)

Renungan

Penjelasan ini menunjukkan bahwa kita akan mengalami kematian kedua yang entah kapan datangnya dan di mana datangnya. Kita pun dengan yakin akan menghadapi kehidupan kedua saat dibangkitkan. Sedangkan kematian pertama sudah kita lalui. Adapun kehidupan pertama sedang kita jalani saat ini.

Sungguh ayat-ayat berikut bisa sebagai renungan berharga. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".” (QS. Al Jumu’ah [62] : 8)

Kematian akan tetap menghampiri seseorang, walaupun dia berusaha bersembunyi di dalam benteng yang kokoh. Allah Ta’ala berfirman,

أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِككُّمُ الموت وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’ [4] : 78)

Jadi, kematian (maut) adalah benar adanya.

وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS. Qaaf [50] : 19)

Manfaatkanlah umur yang Allah berikan dengan sebaik-baiknya, janganlah sia-siakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Ambillah lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,

كَفَى بِالمَوْتِ وَاعِظًا

“Cukuplah kematian sebagai peringatan (berharga).” (Diriwayatakan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd)

Dengan ingat akan mati, seseorang akan bersegera beramal dan tidak panjang angan-angan. Semoga risalah singkat ini bisa sebagai pengingat yang berharga.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

Panggang-GK, sore hari, 4 Jumadil Awwal 1431 H
http://www.rumaysho.com/belajar-islam/tafsir-al-quran/3006-engkau-akan-mengalami-2-kematian-dan-2-kehidupan.html

Jumat, 16 April 2010

Kita Termasuk yang Mana…?

Kita Termasuk yang Mana…?

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

Di antara tanda kebahagiaan dan keberuntungan, tatkala ilmu seorang hamba bertambah, bertambah pulalah sikap tawadhu’ (rendah hati) dan kasih sayang yang dimilikinya; setiap kali bertambah amalnya, bertambah pula rasa takut dan waspada di dalam dirinya[1]; tatkala bertambah umurnya, berkuranglah ketamakannya terhadap dunia; tiap kali hartanya bertambah, kedermawanannya pun bertambah; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah tinggi, maka bertambah pula kedekatannya dengan manusia, dirinya akan semakin memperhatikan kebutuhan mereka, dan merendahkan diri di hadapan mereka.

Di antara tanda kebinasaan seorang, tatkala ilmunya bertambah, bertambah pula kesombongan dan keangkuhannya; tiap kali amalnya bertambah, bertambahlah ‘ujub (bangga diri) dalam dirinya, semakin meremehkan orang lain, dan justru memandang baik dirinya; tatkala umurnya bertambah, ketamakannya terhadap dunia justru semakin bertambah; tiap kali hartanya bertambah, bertambah pula sifat kikir yang dimiliki; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah, bertambah pula keangkuhan dan kecongkakannya.

Seluruh hal di atas merupakan cobaan dari Allah yang diperuntukkan kepada para hamba-Nya. Di antara mereka ada yang beruntung, sebagian yang lain justru celaka.

Demikian pula dengan kemuliaan, seperti kerajaan, kekuasaan, dan harta, semua adalah cobaan. Allah ta’ala berfirman,

فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ (٤٠)

“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (QS. An Naml: 40).

Demikian pula kenikmatan, semua adalah cobaan dari-Nya sehingga akan nampak siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur (ingkar). Sebagaimana musibah juga cobaan dari-Nya, karena Dia menguji para hamba dengan berbagai nikmat dan musibah.

Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الإنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (١٥)وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (١٦)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dirinya dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu mempersempit rizkinya, maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al Fajr: 15-16).

Maksud dari ayat di atas, tidak setiap orang yang Aku lapangkan rizkinya dan Aku beri kesenangan duniawi, maka hal itu merupakan bentuk pemuliaan-Ku terhadapnya. Dan tidak setiap orang yang Aku persempit rizkinya dan Aku uji dengan kemiskinan, maka hal itu merupakan kehinaan baginya.

Waffaqaniyalahu wa iyyakum.

Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal. 403-404

Gedong Kuning, Yogyakarta, 23 Rabi’uts Tsani 1431.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id


[1] Demikianlah sifat orang beriman, yaitu tatkala mengerjakan amal, mereka tidak lantas berbangga diri dengan amal yang telah dikerjakan. Hal ini diterangkan Allah ta’ala dalam firman-Nya di surat Al Mukminun: 60 (yang artinya), “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa). Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.”

Ketika mendengar ayat ini, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Mengapa mereka khawatir setelah beramal?), apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?” Nabi pun menjawab, “Bukan, wahai anak Ash Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, meskipun demikian mereka khawatir sekiranya amalan tersebut tidak diterima oleh-Nya.” (HR. Tirmidzi: 3175).

Sabtu, 10 April 2010

Taubatnya Malik bin Dinar -Rohimahullah-

Kehidupanku dimulai dengan kesia-siaan, mabuk-mabukan, maksiat, berbuat zhalim kepada manusia, memakan hak manusia, memakan riba, dan memukuli manusia. Kulakukan segala kezhaliman, tidak ada satu maksiat melainkan aku telah melakukannya. Sungguh sangat jahat hingga manusia tidak menghargaiku karena kebejatanku.

Malik bin Dinar Rohimahullah menuturkan: Pada suatu hari, aku merindukan pernikahan dan memiliki anak. Maka kemudian aku menikah dan dikaruniai seorang puteri yang kuberi nama Fathimah.

Aku sangat mencintai Fathimah. Setiap kali dia bertambah besar, bertambah pula keimanan di dalam hatiku dan semakin sedikit maksiat di dalam hatiku.

Pernah suatu ketika Fathimah melihatku memegang segelas khamr, maka diapun mendekat kepadaku dan menyingkirkan gelas tersebut hingga tumpah mengenai bajuku. Saat itu umurnya belum genap dua tahun. Seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta'ala -lah yang membuatnya melakukan hal tersebut.


Setiap kali dia bertambah besar, semakin bertambah pula keimanan di dalam hatiku. Setiap kali aku mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala selangkah, maka setiap kali itu pula aku menjauhi maksiat sedikit demi sedikit. Hingga usia Fathimah genap tiga tahun, saat itulah Fathimah meninggal dunia.

Maka akupun berubah menjadi orang yang lebih buruk dari sebelumnya. Aku belum memiliki sikap sabar yang ada pada diri seorang mukmin yang dapat menguatkanku di atas cobaan musibah. Kembalilah aku menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Setanpun mempermainkanku, hingga datang suatu hari, setan berkata kepadaku: “Sungguh hari ini engkau akan mabuk-mabukan dengan mabuk yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya.” Maka aku bertekad untuk mabuk dan meminum khamr sepanjang malam. Aku minum, minum dan minum. Maka aku lihat diriku telah terlempar di alam mimpi.

Di alam mimpi tersebut aku melihat hari kiamat.

Matahari telah gelap, lautan telah berubah menjadi api, dan bumipun telah bergoncang. Manusia berkumpul pada hari kiamat. Manusia dalam keadaan berkelompok-kelompok. Sementara aku berada di antara manusia, mendengar seorang penyeru memanggil: Fulan ibn Fulan, kemari! Mari menghadap al-Jabbar. Aku melihat si Fulan tersebut berubah wajahnya menjadi sangat hitam karena sangat ketakutan.

Sampai aku mendengar seorang penyeru menyeru namaku: “Mari menghadap al-Jabbar!”

Kemudian hilanglah seluruh manusia dari sekitarku seakan-akan tidak ada seorangpun di padang Mahsyar. Kemudian aku melihat seekor ulat besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar kearahku dengan membuka mulutnya. Akupun lari karena sangat ketakutan. Lalu aku mendapati seorang laki-laki tua yang lemah. Akupun berkata: “Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!” Dia menjawab: “Wahai anakku aku lemah, aku tak mampu, akan tetapi larilah kearah ini mudah-mudahan engkau selamat!”

Akupun berlari kearah yang ditunjukkannya, sementara ular tersebut berada di belakangku. Tiba-tiba aku mendapati api ada dihadapanku. Akupun berkata: “Apakah aku melarikan diri dari seekor ular untuk menjatuhkan diri ke dalam api?” Akupun kembali berlari dengan cepat sementara ular tersebut semakin dekat. Aku kembali kepada lelaki tua yang lemah tersebut dan berkata: “Demi Allah, wajib atasmu menolong dan menyelamatkanku.” Maka dia menangis karena iba dengan keadaanku seraya berkata: “Aku lemah sebagaimana engkau lihat, aku tidak mampu melakukan sesuatupun, akan tetapi larilah kearah gunung tersebut mudah-mudahan engkau selamat!”

Akupun berlari menuju gunung tersebut sementara ular akan mematukku. Kemudian aku melihat di atas gunung tersebut terdapat anak-anak kecil, dan aku mendengar semua anak tersebut berteriak: “Wahai Fathimah tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!”

Selanjutnya aku mengetahui bahwa dia adalah putriku. Akupun berbahagia bahwa aku mempunyai seorang putri yang meninggal pada usia tiga tahun yang akan menyelamatkanku dari situasi tersebut. Maka diapun memegangku dengan tangan kanannya, dan mengusir ular dengan tangan kirinya sementara aku seperti mayit karena sangat ketakutan. Lalu dia duduk di pangkuanku sebagaimana dulu di dunia.

Dia berkata kepadaku:

“Wahai ayah, “belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid:16)


Maka kukatakan: “Wahai putriku, beritahukanlah kepadaku tentang ular itu.”
Dia berkata: “Itu adalah amal keburukanmu, engkau telah membesarkan dan menumbuhkannya hingga hampir memakanmu. Tidakkah engkau tahu wahai ayah, bahwa amal-amal di dunia akan dirupakan menjadi sesosok bentuk pada hari kiamat? Dan lelaki yang lemah tersebut adalah amal shalihmu, engkau telah melemahkannya hingga dia menangis karena kondisimu dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk membantu kondisimu. Seandainya saja engkau tidak melahirkanku, dan seandainya saja tidak mati saat masih kecil, tidak akan ada yang bisa memberikan manfaat kepadamu.”

Dia Rohimahullah berkata: Akupun terbangun dari tidurku dan berteriak: “Wahai Rabbku, sudah saatnya wahai Rabbku, ya, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” Lantas aku mandi dan keluar untuk shalat subuh dan ingin segera bertaubat dan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dia Rohimahullah berkata:
Akupun masuk ke dalam masjid dan ternyata imampun membaca ayat yang sama:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid: 16)
.....

Itulah kisah taubatnya Malik bin Dinar Rohimahullah yang beliau kemudian menjadi salah seorang imam generasi tabi'in, dan termasuk ulama Basrah. Dia dikenal selalu menangis sepanjang malam dan berkata: “Ya Ilahi, hanya Engkaulah satu-satunya Dzat Yang Mengetahui penghuni sorga dan penghuni neraka, maka yang manakah aku di antara keduanya? Ya Allah, jadikanlah aku termasuk penghuni sorga dan jangan jadikan aku termasuk penghuni neraka.”

Malik bin Dinar Rohimahullah bertaubat dan dia dikenal pada setiap harinya selalu berdiri di pintu masjid berseru: “Wahai para hamba yang bermaksiat, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang-orang yang lalai, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang yang melarikan diri (dari ketaatan), kembalilah kepada Penolong-mu! Penolong-mu senantiasa menyeru memanggilmu di malam dan siang hari. Dia berfirman kepadamu: “Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu hasta. Jika dia mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu depa. Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil.”

Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar memberikan rizki taubat kepada kita. Tidak ada sesembahan yang hak selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim.

Malik bin Dinar Rohimahullah wafat pada tahun 130 H. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya dengan rahmat-Nya yang luas. (Misanul I'tidal, III/426).

sumber : http://kisahislam.com/kisah-teladan